Terlambat

Waktu Ashar telah tiba.
“Hmm.. Baru aja Dzuhur, sudah Ashar lagi..” keluh Lika tatkala mendengar suara adzan berkumandang.
“Eit.. Nggak boleh gitu..” ujar Ibu Lika tak sengaja mendengar keluhan putrinya yang sudah beranjak remaja.
“Tadi abis sholat Dzuhur, duduk sebentar baca majalah, eh, sudah waktunya Ashar..” Lika melanjutkan keluhannya.
“Ya itu kamunya yang terlambat sholat Dzuhur. Lika anak ibu, kamu nggak boleh ngeluh. Katanya mau jadi anak sholeha, mau rajin sholat. Harus sabar. Harus ikhlas menjalani kewajiban yang sudah ditentukan. Itu termasuk ujian lho nak..” nasihat ibunya membereskan sisa pekerjaannya.
“Berat ya, Bu.. Rasanya malas banget kalau udah nyantai begini.” kata Lika sembari memainkan ujung rambutnya.
“Ya kalau nggak berat bukan pahala namanya, Lika. Ayo, sholat sama Ibu.”
“Maleees..” Lika memandang ibunya dengan tatapan berjudul ‘Izinkan Aku Tak Melakukannya Kali Ini Saja’.
“Ayo dong, anak ibu yang cantik.. Sholat bisa menghindarkan kita dari perbuatan jahat dan nggak baik lho..” rayu ibu memberi tatapan yang meyakinkan.
“Iya deh bu..” ujar Lika menutup majalahnya dan beranjak pergi dari sofa untuk mengambil air wudhu.
Likandra Fatima. Seorang gadis manis berumur lima belas tahun. Sudah terlampau jauh dari saat baligh. Namun, baru-baru saja Lika membulatkan keinginannya untuk menjalankan sholat lima waktu. Cukup membuat Ibunya sedikit terkejut. Betapa tidak. Lika yang biasanya harus ditodong dengan centong (atau barang apapun yang berbentuk panjang yang ada di dekat ibu) untuk melaksanakan sholat, tiba-tiba bersikukuh untuk menjalankan sholat lima waktu tanpa harus mengalami kejang bulu roma terlebih dahulu. Sebenarnya sih, ibu senang-senang saja, dan bersyukur melihat perubahan pada diri Lika.
Yah, namanya remaja. Baru seminggu setelah pengukuhan dan persetujuan bersama ibunya, terkadang Lika diserang virus Malasithemya, penyebab penyakit malas. Berat rasanya meninggalkan kicau gurau maupun gelak tawa temannya di sekolah (yang terkadang tak bisa berhenti dalam kurun waktu tiga menit entah karena lawakan, atau keterpengaruhan satu sama lain) demi sholat Dzuhur.
Tapi, Lika tak mau mengingkari niat dan janjinya. Ia punya ‘sesuatu di dalam dada’ yang tiba-tiba bertambah beratnya jika ia meninggalkan kewajibannya. Walaupun terkadang digoda oleh Mia dan Kiki, dua sahabatnya, Lika tetap tutup kuping. Daripada ‘sesuatu di dalam dada’ itu tiba-tiba menggelembung dan menembus tulang rusuknya, sekali lagi, Lika tutup kuping.
Hari ini hari Minggu. Matahari mulai tinggi ketika Mia dan Kiki menjemput Lika.
“Lika!” seru Mia ketika melihat sosok Lika sedang duduk santai di kursi teras.
“Hai! Masuk, pagarnya nggak dikunci kok.” ujar Lika tatkala melihat dua sahabatnya itu.
“Hai! Sori loh, kita datang nggak ngomong-ngomong dulu,” ujar Kiki setelah membuka pagar. Kemudian melangkah masuk dan duduk disamping Lika, “Eh, kuenya dimakan, jangan malu-malu.” Kiki mengambil sebuah kue yang tergeletak pasrah di atas meja.
“Yee.. dasar ni anak. Yang punya kue kan Lika, kok kamu yang nawarin,” protes Mia kepada Kiki. Namun, “Kuenya dimakan, Ka..” lanjutnya mengikuti jejak Kiki, mengambil kue tanpa izin lisan dari si empunya.
“Hemmm.. nggak Mia nggak Kiki, sama korsletnya. Lagian, ada apa nih, tumben-tumbenan nggak ada angin topan, nggak ada hujan asam kalian tiba-tiba nongol disini?” tanya Lika, “Kayak Jinni aja..”
“Kita mau jemputin kamu ke pestanya Mona, temen SMPku.” jawab Kiki dengan mulut yang sedang bekerja keras; mengunyah dan berbicara.
“Pesta apa? Kok siang bolong begini?” tanya Lika, sedikit heran.
“Ulang tahun. Ayo, cepetan gih, kamu ganti baju dulu. Sekarang udah jam dua belas lewat lima belas. Acaranya mulai jam setengah dua belas tadi..” ajak Kiki sambil melihat ke jam tangannya.
“Tapi, kita sholat Dzuhur dulu ya? Tadi udah adzan.” pinta Lika.
“Duh, nggak usah. Ntar kan pulang dari sana bisa sholat lagi. Nanti kita terlambat banget.” tolak Kiki.
“Iya, ‘kan kalo sholat jadinya lama.” dukung Mia pada Kiki.
“Ayo.. Sholat ‘kan wajib..” ajak Lika sekali lagi.
“Duh, Ka. Nggak usah sholat sekali-kali ‘kan nggak papa.” rayu Mia.
“Nggak boleh begitu. Yaudah, kalo gitu aku aja yang sholat dulu. Tungguin ya?” ujar Lika.
“Cepetan ya, Ka?
Sekitar dua puluh lima menit kemudian, mobil Kiki menyusuri Komplek Perumahan Kedondong Asem, perumahan dengan model rumah yang sama dan berjejer rapi. Namun, seketika kegembiraan ketiga gadis ini buyar, setelah melihat dua mobil dan satu truk abu-abu dengan sedikit garis melintang berwarna kuning parkir di depan rumah yang diyakini Kiki sebagai kediaman Mona.
Mereka tidak akan tampak sekaget ini, kalau saja di kaca belakang mobil itu polos. Kenyataannya, disitu tertulis “Polresta Balikpapan”. Yap, tidak main-main. Itu adalah mobil polisi.
“Ki, ayahnya Mona polisi, bukan?” tanya Mia sedikit gugup.
Kiki menjadi bingung, “Bukan. Setahuku ayahnya itu pengusaha yang sering tugas keluar kota gitu.”
“Kok ada mobil polisi? Ulang tahunnya ngundang polisi juga, ya?”.
“Duh, aku nggak tahu. Tapi perasaanku nggak enak deh..” ujar Kiki yang kini sibuk memarkirkan mobilnya tak jauh dari mobil abu-abu yang sekarang terlihat betul-betul menyeramkan itu.
“Aku juga.” sahut Mia cepat.
“Aku juga.” ujar Lika tak mau kalah.
“Turun, yuk. Kita tanya.” ajak Kiki sambil membuka pintu mobil dengan sedikit getaran yang melanda tubuhnya. Kemudian Lika dan Mia mengikuti jejak Kiki, ditambah dengan bulu roma yang mengalami ketegangan gila-gilaan.
“Permisi, selamat siang, Pak..” sapa Kiki dengan senyum-tahan-penderitaan.
“Oh, selamat siang, Dik.” jawab Pak Polisi yang diajak bicara oleh Kiki. Di baju dinasnya tertera nama Herman Suherman (“Nama yang boros.” pikir Kiki dalam hati)
“Nama saya Kiki.” Kiki memperkenalkan diri, mengajak bersalaman.
Pak polisi itu menjabat tangan Kiki sambil tersenyum dan mengucapkan, “Saya Pak Herman.” Pak Herman tampak seperti pak polisi yang baik hati.
“Ini teman-teman saya, Lika dan Mia.” ujar Kiki. Kemudian Pak Herman menyalami Lika dan Mia, dengan tersenyum juga.
“Maaf, Pak. Boleh tahu, sedang ada apa ini?” tanya Kiki. Lika dan Mia hanya berdaya untuk mendengarkan percakapan Kiki dan Pak Herman sambil mencuri-curi pandang ke dalam rumah.
“Ini sedang ada pemeriksaan. Kiki kenal dengan yang punya rumah?”
“Kenal.”
“Kamu tadi mau kemana?” selidik Pak Herman.
“Mau pulang. Rumah saya nggak jauh dari sini. Itu, diujung jalan. Saya liat ada sesuatu, ya saya mampir dulu, mau ngeliat-liat.” Kiki berbohong, untuk menyelamatkan dirinya dan teman-temannya dari kecurigaan yang sewaktu-waktu dapat hinggap dalam benak Pak Herman.
“Oh, begitu.”
“Pemeriksaan apa, Pak?”
“Sebenarnya bukan pemeriksaan. Lebih tepatnya penggerebekan. Atas laporan RT setempat, diketahui ada pesta pora di sini. Yah, dicurigai sebagai pesta narkoba. Soalnya, orang tua yang punya rumah sedang tak ada. Jadi..” penjelasan Pak Herman seketika terhenti oleh kedatangan seorang rekannya yang datang memberi laporan.
“Ringkus semua!” perintah Pak Herman. Sepertinya Pak Herman ini adalah pemimpinnya, karena tugasnya hanya ber-mandor-ria, dan memberi aba-aba.
Kiki, Lika dan Mia kaget. “Ada apa, Pak?” tanya Kiki.
“Benar, pesta narkoba.” ujar Pak Herman. Terdengar seperti mantra yang menyihir Kiki, Mia dan Lika menjadi manusia tanpa tulang penyangga. Lemas.
Tak lama kemudian, empat orang remaja laki-laki dan tiga orang remaja perempuan diringkus oleh polisi-polisi yang tegap dan kuat. Kesadaran mereka terlihat setengah-setengah. Parahnya, salah satu dari mereka adalah Mona. Tiga orang lainnya adalah teman lama Kiki. Sisanya, baik Kiki, Lika maupun Mia tak ada yang mengenalnya. Kesemuanya dinaikkan ke atas truk tadi, dan kemudian menderu-derukan mesinnya, bersiap pergi.
“Baik Ki. Bapak pergi dulu. Kamu hati-hati, ya. Jangan sampai terjerumus seperti orang-orang tadi. Jaga diri, Kiki, dan teman-temannya. Selamat siang!” pamit Pak Herman.
“Siang, Pak..” jawab Lika, Mia dan Kiki serempak. Nyaris tak punya kekuatan lagi untuk kembali masuk ke dalam mobil.
“Mia, Lika, maafin aku ya? Aku nggak tau menau tentang pesta narkoba itu. Aku kira Mona ngundang aku cuma untuk ke ulang tahun biasa. Teman-teman jangan marah sama aku, ya? Aku nggak ada maksud jelek sama sekali..” ratap Kiki terlihat ingin menangis setelah mereka bertiga menempatkan diri di jok mobil dengan baik dan benar.
“Iya, Ki. Kita nggak marah kok, ama kamu. Nggak mungkin lah, kamu punya maksud begitu. Anggap aja ini musibah, pelajaran buat kita..” hibur Lika memusut punggung Kiki. Lika juga masih sedikit merasa syok.
“Dulu Mona itu anak baik-baik. Nggak pernah nyentuh barang gituan.” ratap Kiki lagi, “Aku sama sekali nggak nyangka! Aku kaget bangeet..”
Mia dan Lika mengangguk, mendengarkan cerita Kiki.
“Waktu itu dia nelpon aku. Kaget sih, udah lama nggak ketemu, jarang ngobrol lagi. Trus dia ngundang aku ke pesta ulang tahunnya. Ya, aku ngajak kalian juga, supaya aku punya teman disana, soalnya pasti banyak teman-teman barunya Mona.” cerita Kiki panjang lebar, sesekali menghapus air matanya yang mulai turun.
“Iya, Ki. Udaah..” kata Mia, “Tapi.. Lika, kalau bukan karena kamu, mungkin kita juga bisa kayak mereka..”
Lika menjadi tak mengerti. “Kok bisa? Apa hubungannya sama aku?”
“Ka, kita terlambat ke sini gara-gara kamu sholat. Coba kalau kamu nggak sholat. Gimana?” terang Mia, yang membuat hati Lika menyadari sesuatu. Karena sholatnyalah, mereka bisa terhindar dari masalah itu.
Seketika hati Lika menjadi tentram dan berdoa, “Ya Allah, puji syukur atas segala kehadiratMu. Alhamdulillahhirobbil’alamiin. Ya Allah, sesungguhnya hanya Engkaulah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pelindung. Karena hanya perlindunganMu-lah kami terhindar dari marabahaya dan perbuatan jahat. Subhanallah…”
“Astaghfirullahal’adziim.. Lika, maafin aku, ya. Tadi udah nyuruh kamu supaya nggak sholat.” Kiki meminta maaf pada Lika, diikuti oleh Mia.
“Ka, aku minta maaaaaf banget. Aku juga udah godain kamu untuk nggak sholat. Maafin aku ya? Astaghfirullahal’adziim..”
“Iya. Minta maaf juga sama Allah. Ini ‘kan kehendakNya.” ujar Lika tersenyum melihat kedua temannya yang kini memejamkan mata, berdoa dan meminta ampun kepada Allah SWT.
“Wuih, hebat, ya.. Betul kata guru agama kita, sholat itu bisa menghindarkan kita dari perbuatan jahat. Ah, mulai sekarang aku juga mau rajin sholat.” kata Kiki dengan mata yang tiba-tiba berbinar, setelah selesai dari ritual khusyuknya..
“Iya.. iya.. aku juga mau. Ka, kalau mau sholat, ajakin kita, ya?” pinta Mia yang juga telah menyelesaikan doanya. Kelihatannya rasa tentram yang sama juga tumbuh di hati Kiki dan Mia.
“Dari kemaren-kemaren kalian kuajakin sholat, pada nggak mau. Tuh, sekarang kena batunya..” ujar Lika dengan bibir maju.
“Iya deh, Ka.. Ampun Ndoro..” kata Mia, “Tapi, Insya Allah, kita mau bener-bener sholat deh..”
“Iya, Ka. Supaya kita bisa masuk surga sama-sama!” kata Kiki.
“Amiin.. Semoga diberi kemudahan.” ucap Lika, “Sebagai permulaan, kalian sholat Dzuhur dulu. Mumpung belum habis waktunya.”
“Oke deh, kita ke rumah Mia aja ya..” ajak Kiki sambil menyalakan mesin mobil.
“Cabut..!!” seru Mia.
“Tancap, Bleh..!!” seru Lika. Kemudian mereka bertiga tertawa, meninggalkan rumah Mona yang kini pagarnya mendapat hiasan baru; garis kuning panjang terbuat dari plastik bertuliskan “GARIS POLISI, DILARANG MELEWATI”.
Tampaknya Lika, Kiki dan Mia telah menggantikan ketegangan mereka dengan senyum, semangat dan tekad baru. Semoga Allah memudahkan dan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang berniat dan ingin menjadi lebih baik. Amin Ya Robbal’alamin..


_Selesai_

By: Regina

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Iwan Simatupang - Tegak Lurus Dengan Langit

RESENSI NOVEL “TITIK 00”